Author: Kenten Mushroom Farm
•04:40
By Republika Newsroom
Selasa, 14 April 2009 pukul 13:12:00

Hutan Rakyat Potensial Menyerap Karbon

BOGOR - Hutan rakyat mulai dilirik sebagai areal yang potensial dalam menyumbangkan jasa penyelamatan lingkungan melalui penyerapan karbon.

"Hutan rakyat sudah memiliki areal yang jelas, pemiliknya jelas, jenis pohon juga jenis yang biasa mereka tanam seperti jati dan sengon. Batasan areal dan keamanan terjamin karena adanya penduduk desa dan aparat desa yang menjamin," kata pelaksana tugas (Plt) Direktur Eksekutif Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) Daru Asycarya di Bogor, Selasa (14/4).

Ia mengemukakan hal itu sehubungan dengan rencana seminar nasional sehari bertema "Pengembangan Inisiatif Perdagangan Karbon Dalam Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia" digagas LEI dan Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) Dephut, yang akan diadakan di ruang rapat utama Menteri Kehutanan Jakarta Rabu (15/3).

LEI adalah organisasi berbasis konstituen (CBO) yang mempunyai misi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia, sedangkan KPWN adalah lembaga yang dibangun tahun 1989 dan dibina Dephut, yang usahanya antara lain di bidang pembangunan hutan tanaman jati dengan basis masyarakat berdasarkan pola bagi hasil.

Sebagai komponen utama dalam penyerapan emisi karbon yang menyebabkan pemanasan global, menurut Daru, hutan mampu menyerap kelebihan karbon di udara. Ia mengatakan, Indonesia dengan luasan hutan alam 90 juta hektare dan hutan rakyat 1,2 juta hektare memiliki potensi besar yang belum termanfaatkan sepenuhnya untuk menyelamatkan lingkungan dari perubahan iklim.

Menurut studi FAO tahun 2006, penanaman pohon dapat menyerap karbon dalam jumlah yang besar dari udara dalam waktu yang relatif pendek dan hutan dapat menyimpan sekitar 15 ton karbon/ha/tahun dalam bentuk biomassa dan kayu.

Hutan alam, kata Daru, memang memiliki areal yang luas dan beraneka ragam jenis pohon bernilai tinggi, namun keamanan arealnya kurang dapat dijamin. Selain itu, masih banyak hutan alam produksi yang belum jelas atau belum tuntas status penataan batasnya sehingga berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari.

Investasi bagi hasil

Dengan kondisi seperti itu, KPWN sebagai lembaga koperasi kehutanan kemudian mengembangkan metode investasi bagi hasil lewat penananaman jati unggul di hutan rakyat. "Kami lebih mengutamakan untuk menggunakan tanah-tanah rakyat yang marjinal dan pinggiran untuk ditanami pohon," kata Ketua KPWN Dibyo Poedjowadi.

Menurut dia, dengan pola bagi hasil yang dikembangkan, baik dari hasil kayu maupun hasil penyerapan karbon, masyarakat pedesaan akan memperoleh sekitar 60 persen dari hasil investasi, baik untuk perangkat desa, pemilik lahan, maupun petani penggarapnya.

Selain itu penanaman jati dan sengon di tanah marjinal dapat membantu meningkatkan nilai tanah. Untuk tahun produksi 2004-2005 saja, tanah yang ditanami sengon telah bernilai sewa Rp 10 juta sampai Rp 30 juta/ha/tahun.

Kondisi itu lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan tanah yang ditanami tebu, nilai sewa tanahnya hanya mencapai Rp2 juta hingga Rp 3 juta/ha/tahun. Dengan penambahan teknologi, jelasnya, juga dapat dihitung volume karbon yang terserap dalam setiap jumlah tertentu pohon yang ditanam.

Metode perhitungan tersebut, kata dia, dapat mengetahi misalnya, penanaman sebanyak 2.653 pohon di Jawa Barat dan Jawa Timur oleh Menhut MS Kaban yang ternyata equivalen sebagai kompensasi karbon dari kegiatan yang dilakukan sehari-hari.

Sementara itu, Daru Asycarya menambahkan bahwa skema itu membuka peluang dan kesempatan bagi individu maupun perusahaan yang merasa bertanggung jawab memberikan kompensasi atas karbon yang telah dikeluarkan lewat beraneka kegiatan, mulai dari menggunakan kendaraan bermotor sampai proses industri yang mengeluarkan polutan yang berdampak menimbulkan efek gas rumah kaca.

"Jangan sampai kita hanya mengeluarkan polusi tanpa ada tanggung jawab untuk menguranginya. Industri besar bahkan punya tanggung jawab sosial dan lingkungan yang lebih besar untuk memberi kompensasi pada masyarakat yang telah menyediakan hutan rakyat lestari sebagai penyerap gas karbon," katanya.

Program kerjasama LEI-KPWN ini sejalan dengan kebijakan Dephut yang baru-baru ini menggalakkan kampanye "One Man One Tree", yang mengajak dan merangsang setiap orang untuk melakukan penanaman pohon./ant/itz
Author: Kenten Mushroom Farm
•19:54
Discovering Alpine Birds: Live like an elephant - an essay
Author: Kenten Mushroom Farm
•10:57
World Growth Chairman, Alan Oxley, said today unless climate change negotiators meeting this week in Bonn concentrated on finding cheaper ways to reduce emissions, the negotiations would fail.

“With unemployment rising in the industrialized world and trade and growth collapsing in the developing world, proposals to cut emissions at the cost of reduced jobs and slower growth will be politically unacceptable,” said Mr. Oxley.

He said climate change negotiators had to recognize governments now had a political imperative to promote growth.

“Expansion of sustainable forestry world wide has been recognized by the IPCC, the UN’s climate change research body, as the cheapest and most effective way to reduce emissions,” said Mr. Oxley.

A recent report published by World Growth – Winners All: How Forestry Can Reduce Both Climate Change Emissions and Poverty – A Pro-Development Program highlighted the importance of this.

It showed expansion of sustainable forestry in developing countries like Indonesia, the Congo and Brazil would increase the size forest carbon sinks, said Mr. Oxley

The bigger sinks would absorb more emissions and reduce pressure to cut them, and thereby the cost of doing so, explained Mr. Oxley.

He said research recently released by Greenpeace showed the same thing, but Greenpeace skirted over that to contend no carbon credits should be allowed for forestry in developing countries.

Greenpeace argued there would be so many it would reduce the price of carbon credits in a global trading scheme.

Mr. Oxley said the price of credits was less important than reducing emissions.

“Expansion of sustainable forestry would also support economic growth in poor countries,” said Mr. Oxley. “Unfortunately, that is not a Greenpeace objective.”

“Greenpeace’s approach is shaped by its opposition to forestry and its desire to raise costs for carbon-based energy industries rather than find cheaper ways to reduce global emissions.” said Mr. Oxley.

If climate negotiators follow Greenpeace’s lead, they will alienate developing countries and there will no new agreement to reduce emissions, said Mr. Oxley.

He pointed out China plans to increase it forests to 20 percent of total land area by 2010, abating 50 Mt of carbon dioxide, but Greenpeace’s approach would not allow China to count that or earn credits for it.

To speak with World Growth Chairman Alan Oxley, please contact media@worldgrowth. org.