Author: Kenten Mushroom Farm
•06:01
Jakarta, CyberNews. Sekitar 15.000 hektar hutan tempat bertumpunya hidup 2.500 jiwa penduduk di Desa Tura, Tumbang Tanjung dan Tumbang Lahang di sepanjang aliran Sungai Katingan, Kalimantan Tengah saat ini terancam musnah demi perluasan perkebunan kelapa sawit.

Kekhawatiran masyarakat ini dituangkan dalam film yang berjudul "Petak Danum Itah" atau "Tanah Air Kami". Film yang dibuat sendiri oleh masyarakat Desa Tura, dengan dukungan Centre for Orangutan Protection ini secara perdana diputar Selasa (16/12) di Jakarta.

"Saya bisa membayangkan bagaimana sengsaranya kami kalau hutan tempat kami mengumpulkan rotan dan berladang dibabat habis untuk perkebunan kelapa sawit. Apa lagi yang akan kami wariskan kepada anak cucu kami nanti. Presiden Indonesia harus tahu bahwa sumber penghidupan kami direbut oleh perusahaan kelapa sawit," kata Daryatmo, kepala Desa Tumbang Tura, salah satu desa di Kecamatan Pulau Malan.

"Kami sudah mendengar keluhan kawan-kawan kami dari desa dekat sini yang telah menyerahkan hutan adat mereka kepada perusahaan kelapa sawit. Mereka sebagian besar tidak dapat lagi mengumpulkan rotan dan menyadap karet yang pendapatannya lumayan mencukupi dan sebagian besar pekerja perusahaan diambil dari luar daerah sehingga penduduk tidak lagi dapat penghasilan yang memadai. Ikan juga tidak ada lagi karena air sungai tercemar," kata Daryatmo dalam keterangan pers tertulis kepada Suara Merdeka CyberNews.

Setidaknya ada 15 perusahaan yang telah mendapatkan konsesi untuk membabat hutan dan menanam kelapa sawit di kawasan itu. Berdasarkan survey Yayasan BOS dan Departemen Kehutanan pada Desember 2006, setidaknya terdapat 1.500 orangutan di 3 areal konsesi PT. Makin Group yang berada di sepanjang aliran Sungai Katingan.

Jika dilakukan survey menyeluruh di kawasan tersebut, bisa jadi kawasan itu merupakan spot keragaman hayati Indonesia yang luar biasa. "COP memutuskan untuk bekerja di desa Tura. Targetnya jelas: selamatkan hutan. Ini tidak saja akan menyelamatkan 1500 orangutan tetapi juga penghidupan masyarakat," katanya.
Author: Kenten Mushroom Farm
•14:34
YOGYAKARTA--MI: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengembangkan teknik silvikultur untuk memulihkan hutan sekunder dengan produktifitas rendah yang terus mengalami kerusakan.

Teknik silvikultur mampu mengubah lahan yang kurang potensial unsur haranya (dianggap lahan kritis), menjadi lahan yang bagus. Teknik tersebut sangat spesifik untuk lahan sekunder.

Dekan Fakultas Kehutanan UGM Moh Naiem di Yogyakarta, Senin (24/11), mengatakan, pengembangannya sudah diterapkan di lahan basah, Kalimantan. Bahkan sudah dikembangkan menjadi lebih dari enam model dan diadopsi oleh Departemen Kuhutanan RI.

Menurutnya, lima tahun terakhir ini pihaknya terus mengembangkan teknik silvikultur. Teknik tersebut, ujar Naiem, sebenarnya sudah diperkenalkan pada 1996. Namun, teknik tersebut baru popular sekitar lima tahun terakhir.

"Dengan metode silvikultur sangat memungkinkan mengentaskan kondisi hutan Indonesia dari keterpurukan," katanya.

Ia juga mengatakan, metode silvikultur juga tengah gencar dilakukan di daerah pesisir Kebumen, Jawa Tengah, dengan luas lahan garapan sekitar 350 hektare dari daerah Petanahan hingga Ambal. Di daerah tersebut tengah dikembangkan metode silvikultur dengan penanaman pohon cemara udang.

Cemara udang diyakini mampu mengantisipasi terjadinya banjir akibat tsunami serta melindungi ekosistem tanaman petani dan lahan perikanan yang terletak di kawasan pantai.

"Kita mencoba kembangkan metode silvikultur dengan varietas pohon cemara udang yang sebenarnya juga prospektif, karena bisa dijadikan bonsai yang memiliki daya jual tinggi," ungkapnya.

Pakar Perlindungan Hutan UGM Sumardi menambahkan, teknik silvikultur hampir mirip dengan cocok tanam pertanian, namun di bidang kehutanan sistem cocok tanam yang dimaksud difokuskan pada hutan yang mengalami degradasi.

Teknik tersebut diyakininya mampu memperbaiki ekosistem dan struktur ekologi. "Teknik ini mampu meningkatkan manfaat ekologi, lingkungan dan genetik hutan," jelasnya.

(Sumber Media Indonesia, Senin, 24 2008, Penulis : Sulistiono)
Author: Kenten Mushroom Farm
•14:05
Jumat, 28 November 2008 | 15:45 WIB

MEDAN, JUMAT - Perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan maupun pertanian yang terus meningkat di kawasan Sumatera telah mengancam populasi orangutan Sumatera (Pongo abelii). Co Manager Field dan Research Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) Asril, di Medan, Jumat (28/11), mengatakan, perubahan habitat sangat mempengaruhi kemampuan orangutan dalam melangsungkan hidupnya.

Perubahan habitat tersebut dapat berupa kehilangan, kerusakan, dan fragmentasi habitat akibat konversi lahan hutan menjadi perkebunan skala besar, pengusahaan hutan yang salah, perambahan, illegal logging, dan kebakaran. Fragmentasi habitat merupakan proses yang menyebabkan kawasan hutan primer yang semula saling bersambungan berubah menjadi "pulau-pulau kecil yang terpencar".

"Kondisi ini menyebabkan populasi orangutan atau satwa lainnya terisolasi atau terpecah menjadi kelompok kecil yang dapat menyebabkan kepunahan," katanya.

Berdasarkan hasil workshop Population and Habitat Viability Assessment (PHVA) orangutan tahun 2004, populasi orangutan di alam diperkirakan hanya tinggal 58.300 individu. 51.000 individu berada di Kalimantan dan 7.300 individu terdapat di Sumatera dengan habitat seluas kira-kira 9.000 km persegi.
Hampir sebagian besar populasi orangutan tidak berada di dalam area konservasi sehingga menimbulkan masalah yang sangat serius dalam manajemen konservasi orangutan.

(Sumber Kompas, Jumat 28 November 2008)
Author: Kenten Mushroom Farm
•13:58
POZNAN, SENIN - Pertemuan para pihak ke-14 Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim dibuka secara resmi di Poznan, Polandia, Senin (1/12). Selama dua pekan, ribuan delegasi dari 190 negara membahas penanganan perubahan iklim di tengah suasana krisis global.

Pada pembukaannya, Sekretaris Jenderal Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Yvo de Boer kembali mengingatkan, dunia harus bergerak cepat menekan laju pemanasan global. Sejauh ini, sebanyak 37 negara maju diwajibkan mengurangi emisi karbonnya, hingga rata-rata 5 persen dari kondisi tahun 1990, pada tahun 2012.

Ketua Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) Rajendra Pachauri mengingatkan konsekuensi dari kegagalan menangani perubahan iklim. Kesimpulan ribuan ahli menyebutkan, sepertiga spesies di Bumi menghadapi kepunahan, bongkahan es di kutub akan meleleh dan menaikkan permukaan laut hingga hitungan meter, serta ancaman krisis air bersih di sejumlah negara.

"Itu bisa terjadi dalam beberapa dekade saja," kata Pachauri, seperti dilaporkan Kantor Berita Associated Press, kemarin.

Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah keberadaan proyek-proyek ”energi hijau” menurun drastis seiring krisis keuangan global, yang juga menghantam sektor perkreditan.

Komitmen Eropa

Meskipun seluruh dunia berkonsentrasi pada persoalan penanganan krisis di negaranya masing-masing, negara-negara di Eropa menyatakan komitmennya. ”Krisis finansial terjadi pada masa lalu dan juga pada masa datang, tetapi upaya kita di bidang lingkungan harus sepanjang masa,” kata Perdana Menteri Polandia Donald Tusk.

Polandia akan mengambil alih posisi pimpinan negosiasi penanganan perubahan iklim sejak konferensi dibuka resmi. Pimpinan sebelumnya dipegang Indonesia, selaku tuan rumah COP ke-13 tahun 2007.

Posisi Polandia sulit. Pertumbuhan ekonominya bergantung pada batu bara, yang dikenal produk beremisi karbon tinggi.

Sebanyak 93 persen pembangkit energi di Polandia pun digerakkan batu bara. Sementara itu, Uni Eropa sepakat memotong emisi karbonnya hingga 20 persen tahun 2020.

Di tengah tarik-menarik kepentingan, harapan muncul dengan terpilihnya Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat. Obama diyakini bisa mendorong pembicaraan penanganan perubahan iklim karena posisinya yang dikenal prolingkungan.

(Sumber : Kompas, Selasa 2 Desember 2008)