Author: Kenten Mushroom Farm
•15:44
TEMPO Interaktif, Yogyakarta: Selama sepuluh tahun terakhir, laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai dua juta hektar per tahun. Selain kebakaran hutan, penebangan liar (illegal loging) adalah penyebab terbesar kerusakan hutan itu. Demikian dikatakan Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM), Profesor Doktor Soekotjo, di Yogyakarta, Rabu (3/3).

“Selama 1985-1997, kerusakan hutan di Indonesia mencapai 22,46 juta hektar. Artinya, rata-rata mencapai 1,6 juta hektar per tahun,” kata Soekotjo. Ada empat faktor penyebab kerusakan hutan itu: penebangan yang berlebihan disertai pengawasan lapangan yang kurang, penebangan liar, kebakaran hutan dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian atau pemukiman.

Menurut Soekotjo, kebakaran hutan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia pada 1997, membuat hampir 70 persen hutan terbakar. Kerusakan hutan bertambah ketika penebangan liar marak terjadi. Penebangan liar telah merusak segalanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Lantaran hanya dibebani ongkos tebang, tingginya penebangan liar juga membuat harga kayu rusak. Persaingan harga kemudian membuat banyak industri kayu resmi terpaksa gulung tikar.

Selain itu, lemahnya pengawasan lapangan penebangan resmi juga memberi andil tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia. Padahal, kriteria Direktoran Kehutanan mengenai Tebang Pilih Indonesia (TPI) sebenarnya sudah cukup baik dan sesuai dengan kriteria pengelolaan hutan yang telah dirumuskan dalam berbagai pertemuan ahli hutan se-dunia. “Tapi di lapangan, kriteria itu tidak berjalan akibat lemahnya pengawasan,” kata Soekotjo.

Walau demikian, para ilmuwan di Fakultas Kehutanan UGM masih optimis, hutan di Indonesia bisa dipulihkan dalam waktu 40 tahun. Caranya? Teknik pemuliaan pohon, manipulasi lingkungan serta pengendalian hama dan penyakit bisa dilakukan untuk memulihkan kembali hutan di Indonesia. Penanaman hutan secara intensif menjadi pilihan terbaik karena bisa diprediksi. Sehingga, kebutuhan kayu bisa diperhitungkan tanpa harus merusak habitat hutan alam yang masih baik.

Memang, mempertahankan seluruh hutan di Indonesia tidak mungkin. “Tapi paling tidak, 50 persen hutan alam di Indonesia harus tetap dijaga keasliannya. Sisanya, bisa diusahakan menjadi hutan tanaman industri,” kata Soekotjo. Menjaga 50 persen hutan alam itu berguna untuk keseimbangan ekosistem, mempertahankan genetik tanaman dan menjadi sumber tanaman obat serta sumber makanan. “Saat ini saja, UGM sudah menemukan tujuh tanaman hutan yang diperkirakan bisa menjadi bahan obat penyakit HIV,” kata Soekotjo.

Heru CN - Tempo News Room
Author: Kenten Mushroom Farm
•09:51
Forest Watch Indonesia (FWI) menyatakan praktek illegal logging mulai merambah Papua. Para pemilik modal pengusaha asing terutama asal Malaysia berupaya masuk ke Papua setelah membabat hutan di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi.

Menurut Togu Manurung, Direktur FWI, proses perusakan hutan di Papua maupun daerah Indonesia lainnya akibat praktek illegal logging dapat terjadi lebih cepat dan luas dalam waktu singkat. Bila ini terus terjadi dan tidak segera diatasi maka diperkirakan, 20 tahun mendatang hutan di Papua dapat punah. Pada kenyataannya pula, kegiatan penebangan kayu yang dilakukan Kopermas (Koperasi Peran Serta Masyarakat) banyak dimanfaatkan para pemilik modal untuk mendapatkan keuntungan dalam waktu singkat.

Saat ini illegal logging dan penyelundupan kayu sangat marak di Papua. Pengrusakan hutan yang sedang terjadi di Papua dapat kembali mengulangi apa yang telah terjadi di bagian Barat Indonesia. Sesungguhnya hutan alam di Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi sudah rusak. Mereka (pemilik modal) kini bergerak ke bagian Timur, khususnya Papua.

Secara umum jelas Manurung, kerusakan hutan di Indonesia semakin meningkat, mengalami kehilangan hutan tropis tercepat di dunia. Laju deforestasi sekarang tidak kurang dari 2,4 juta hektar per tahun atau dua (2) kali lebih cepat dibanding tahun 80-an. Selama periode 50 tahun (1950-2000) tutupan hutan di Indonesia berkurang dari 162 juta ha menjadi 98 juta hektar.
Author: Kenten Mushroom Farm
•09:48
Inilah pemandangan saban hari di perbatasan Kalimantan.6 Iring-iringan truk berukuran raksasa, sekitar pukul 07.00 sudah mulai bergerak meninggalkan Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menuju Tebedu, Malaysia.

Truk tronton berpelat nomor Malaysia, itu seperti punggung Mamut, gajah purba yang mengangkuti kayu. Bentuknya hampir seragam, hanya saja berwarna putih dan panjangnya sekitar delapan meter. Adapun truk berpelat nomor polisi Kalimantan Barat (Kalbar), bentuk, ukuran, dan warnanya sangat beragam. Namun, terdapat kesamaan. Bagian baknya hampir sama, ditutupi terpal plastik berwarna biru atau oranye.

Jika diamati secara cermat, barulah kita tahu bahwa truk-truk berpelat nomor Malaysia maupun Kalbar itu bermuatan kayu gergajian. Saking panjangnya kayu yang dibawa itu, enam sampai delapan meter, ujung kayu tetap saja terlihat menyembul keluar badan truk meskipun sudah ditutupi terpal plastik.

Terpal plastik itu pun tidak digunakan terlalu lama. Hanya digunakan di wilayah Indonesia, agar saat melewati Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalbar, tidak terlalu mencolok.

Petugas pun seolah maklum dengan muatan truk tersebut sehingga tidak rewel melakukan pemeriksaan saat melintasi PPLB Entikong. Pengemudi atau kernet truk hanya menyerahkan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah dan truk bermuatan kayu itu pun lolos keluar dari wilayah Indonesia.

Begitu masuk pintu perbatasan, di Pos Pemeriksaan Tebedu, Malaysia, truk bermuatan kayu harus melintasi pemeriksaan barang. Atap terpal harus dibuka seluruhnya. Namun, pemeriksaan ini pun sekadar formalitas karena meski sudah tahu truk itu bermuatan kayu dan tidak dilengkapi dokumen yang sah, tetap saja lolos masuk wilayah Malaysia. Bahkan, saat sudah berada di dalam wilayah hukum Malaysia, terpal plastik dibuka dan truk itu dengan leluasa melaju di jalan yang beraspal mulus.

Bukan cuma di Entiong, Kabupaten Sanggau, penyelundupan kayu ini berlangsung secara terang-terangan. Di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, yang mengklaim sebagai “Kabupaten Konservasi”, penyelundupan kayu ke Malaysia sangat mencolok mata.

Jalur penyelundupan kayu yang paling ramai antara lain melalui Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, menuju Lubok Antu, Sarawak, Malaysia. Sekitar 200 truk bermuatan kayu setiap pagi hingga sore melintasi jalur itu, di depan mata petugas, tanpa tindakan apa pun dari aparat.

Hampir sama dengan di Kabupaten Sanggau, kayu-kayu tersebut dikumpulkan dari masyarakat dan dibeli cukong kayu yang beberapa di antaranya warga negara Malaysia. Cukong memberi modal kepada penebang kayu, mulai dari kebutuhan untuk membeli mesin pemotong kayu hingga biaya hidup selama di hutan.

Uniknya, di Kabupaten Kapuas Hulu cara mengangkut kayu dari hutan ke jalan menggunakan sepeda yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa melaju di atas rel terbuat dari kayu. Sepeda yang dimuati kayu di kiri-kanannya hingga 10 balok, kemudian didorong melintasi rel kayu hingga ke jalan raya. Hanya orang-orang tertentu dari Kabupaten Sambas yang mempunyai keterampilan membawa kayu menggunakan sepeda sehingga dikenal dengan nama sepeda sambas.

Kayu hasil tebangan itu kemudian digeletakkan begitu saja di pinggir jalan antara Sintang (Kabupaten Sintang) hingga Putussibau (Kabupaten Kapuas Hulu) yang jaraknya sekitar 165 kilometer. Karena itu, tidak mengherankan jika di sepanjang jalan negara tersebut ditemukan banyak tumpukan kayu hasil tebangan, pondok para penebang, bangunan tempat penggergajian kayu, hingga gudang penumpukan kayu.

Kayu yang sudah ditumpuk kemudian dikirim ke Malaysia menggunakan truk. Namun, biaya untuk pengiriman itu tidak murah, dari Rp 700.000 hingga Rp 1,5 juta per truk bermuatan lima hingga enam meter kubik kayu gergajian. Hampir setiap belokan jalan pasti ada pungutan, mulai yang dilakukan masyarakat, pungutan liar oleh aparat keamanan, hingga aparat pemerintah daerah.

Berdasarkan pemantauan Kompas, antara Sintang dan Putussibau sepanjang 165 kilometer terdapat tidak kurang dari 30 pos pungutan tidak resmi yang dilakukan oleh warga, aparat keamanan, hingga aparat Pemda Kabupaten Kapuas Hulu. Besarnya pungutan berkisar dari Rp 40.000 hingga Rp 50.000 setiap truk. Dalih pungutan bermacam-macam, mulai dari pemeliharaan dan perawatan jalan, hingga menjaga keamanan.

Abang Tambul, Bupati Kapuas Hulu, memperkirakan, setiap hari sedikitnya 40 truk mengangkut kayu dari Badau menuju Lubok Antu, Malaysia. Sebagian truk itu berpelat nomor Malaysia, namun banyak pula yang berpelat nomor Kalbar.

Konsorsium Anti-Illegal logging Kalimantan Barat (KAIL) memperkirakan, sedikitnya 200 truk setiap hari yang melintasi perbatasan kedua negara itu dengan muatan dari enam hingga delapan meter kubik kayu setiap truk.

Jika setiap truk mengangkut enam meter kubik kayu, maka setiap hari setidaknya ada 1.200 meter kubik kayu yang diselundupkan ke Malaysia hanya dari Badau saja, atau 36.000 meter kubik kayu setiap bulan. Jika harga kayu sekitar Rp 600.000 setiap meter kubik, bisa dihitung sendiri berapa kerugian negara akibat penebangan ilegal tersebut.

Bukan cuma kerugian dalam bentuk kehilangan kayu dan pendapatan negara, kerugian paling besar justru berupa kerusakan lingkungan. Dampak ini dirasakan langsung oleh masyarakat dalam bentuk bencana banjir dan semakin luasnya lahan kritis.

Kepala Dinas Kehutanan Kalbar Tri Budirto mengatakan, saat ini luas lahan kritis di daerah itu sekitar 5,1 juta hektar dan mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahun. Sebagai gambaran, pada 2002 luas lahan kritis di Kalbar baru 4,95 juta hektar yang terdiri atas 2,13 juta hektar berada di kawasan hutan dan 2,72 juta hektar di luar kawasan hutan. Namun, akhir 2003 luas lahan kritis meningkat menjadi 5,1 juta hektar, terdiri atas 2,16 juta hektar berada di dalam kawasan hutan, serta 2,97 juta hektar berada di luar kawasan hutan.

Berarti, hanya dalam waktu setahun luas lahan kritis sudah bertambah sekitar 182.700 hektar. Parahnya lagi, lahan kritis itu sebagian besar berada di sekitar daerah aliran sungai (DAS) besar di Kalbar, yakni DAS Sambas seluas 399.000 hektar, DAS Kapuas 3,35 juta hektar, dan DAS Pawan 1,38 juta hektar.

Tidak heran, karena lahan kritis berada di sekitar DAS, Kalbar kini menjadi daerah langganan banjir di saat musim hujan. Sebaliknya pada musim kemarau, sebagian wilayah Kalbar mengalami kekeringan yang sangat parah. Air sungai menyusut drastis sehingga sungai tak bisa lagi digunakan untuk transportasi tradisional.

Karena sungai tak bisa digunakan, jalan darat pun menjadi pilihan. Bukan cuma oleh penduduk lokal, tetapi juga untuk angkutan kayu ilegal. Tak heran jika sejumlah ruas jalan utama yang menghubungkan sejumlah kabupaten di Kalbar rusak parah.

Ternyata, penebangan hutan yang dilakukan secara besar-besaran sama sekali tidak memberi manfaat bagi masyarakat banyak, namun hanya dinikmati segelintir orang. Sebagian besar masyarakat justru menuai bencana seperti banjir, kerusakan jalan, dan kekeringan akibat semakin luasnya lahan kritis.

Herujono Hadisaputro, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak mengatakan, dibandingkan dengan propinsi lainnya, Propinsi Kalbar memiliki lahan kritis paling luas. Namun ironisnya, upaya rehabilitasi lahan kritis justru sangat minim, bahkan tidak sebanding dengan luas hutan yang dibabat. Jika hal ini dibiarkan, bukan mustahil lahan kritis di Kalbar kelak akan menjadi gurun pasir.

LH Kadir, Wakil Gubernur, Kalbar, mengatakan, dari 15.000 hektar lahan kritis di Kalbar yang diajukan untuk direhabilitasi, hanya 9.000 hektar yang disetujui pemerintah pusat dan kemudian diberikan anggaran. Sisa lahan kritis lainnya akan dicoba dimanfaatkan untuk tanaman rambutan, durian, sawo, dan tanaman produktif lainnya dengan melibatkan masyarakat.

Di Kota Bontang, Kalimantan Timur, aparat pemerintah juga kesulitan menentukan lahan yang harus direhabilitasi karena tidak sebandingnya anggaran yang tersedia dengan luas lahan kritis yang harus direhabilitasi, termasuk rehabilitasi Taman Nasional Kutai (TNK). Selain anggaran terbatas, tanaman untuk rehabilitasi juga bukan tanaman lokal, melainkan tanaman produktif sehingga bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 8205 Tahun 2002 tentang Pedoman Rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional.

Di Kabupaten Berau, Kaltim, lahan rehabilitasi malah dimanfaatkan menanam kopi. Sebenarnya, rehabilitasi itu tidak salah asalkan melibatkan masyarakat dan dilakukan secara transparan. Sayangnya, harga pembelian bibit kopi itu tidak transparan sehingga merugikan masyarakat.

Tidak heran jika kemudian Suwarna AF, Gubernur Kaltim mengatakan, dana rehabilitasi dan dana reboisasi untuk Kaltim yang jumlahnya lebih dari Rp 200 miliar, sekitar 60 persen tidak tepat sasaran dan mengalami penyimpangan. Tidak cuma jenis tanaman dan lokasi penanaman, tetapi juga penggunaan dananya yang masing-masing kabupaten menerima sekitar Rp 20 miliar, banyak mengalami penyimpangan.

Jadi, kerusakan hutan di Kalimantan memang bertubi-tubi. Di satu sisi hutan dibabat secara tidak terkendali, sedangkan upaya rehabilitasi lahan kritis nyaris tidak dilakukan. Jika demikian, bisa jadi benar pendapat sejumlah kalangan yang menyatakan, Kalimantan sekarang sedang menunggu menjadi gurun pasir.
Author: Kenten Mushroom Farm
•09:42
Dampak buruk paling mutakhir dari illegal logging terjadi di kawasan Bahorok-Langkat, Sumatera Utara. Banjir bandang akibat penggundulan hutan terjadi pada minggu malam, 2 November 2003 pada pukul 21.55 Wib. Air bah yang datangnya dari hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) Bahorok seperti menggerus wilayah sepanjang hulu sungai.

Korban meninggal yang teridentifikasi diperkirakan sebanyak 138 orang dan seratusan orang belum ditemukan.4 Hal ini akibat semakin berkurangnya luas tutupan hutan di Sumatera Utara, termasuk di wilayah perbatasan dengan Taman Nasional Gunueng Leuser.

Sumatera Utara memiliki luas wilayah sebesar 7.168.000 hektar setengahnya atau sekitar 3.675.918 hektar merupakan kawasan hutan. Namun luas wilayah hutan ini tidak dijaga kelestariannya. Sekitar 890.505,8 hektar sedang dalam kondisi rusak. Banyak pemilik izin perkayuan tidak melakukan penanaman kembali, di samping maraknya illegal logging.

Produksi hutan sebesar 8.987.961,51 m3 selama 5 tahun, berarti 1.797.592,302 m3 per tahun atau setara dengan 179.759,2 hektar per tahun. Jika dibandingkan dengan hasil kayu berdasarkan izin HPH, telah terjadi penebangan hutan sebesar 127.376,202 m3 atau setara dengan 1.273,762 hektar di luar HPH. Illegal logging ini mengakibatkan kerugian triliunan rupiah.

Dari data tersebut terlihat kerusakan hutan di Sumatera Utara sebesar 1.045.595,762 hektar (HPH dan produksi hutan). Namun berdasar data yang diolah dari berbagai media massa, masih terjadi kerusakan hutan lainnya diakibatkan pembakaran dan penebangan sebesar 165.001,15 hektar.

Sehingga dari 3.675.918 hektar hutan yang ada di Sumatera Utara, 1.367.643,15 hektar telah rusak. Hutan yang tersisa dan harus diselamatkan sebesar 2.308.274,85 hektar. Inilah salah satu penyebab banjir bah di Bahorok-Langkat, Sumatera Utara.

Tim investigasi Koalisi Ornop menemukan adanya tumpukan kayu bekas tebangan di lokasi kejadian. Tidak jauh dari lokasi bencana juga terdapat kawasan hutan muda bekas tebangan. Sementara di lokasi lain ditemukan adanya bekas tunggul kayu dan potongan kayu.

Selain Sumatera Utara, Riau pun harus menghadapi ancaman serupa. Menurut Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia (GI), akibat tingginya laju kerusakan hutan, luas hutan di Riau kini tinggal 800 ribu hektar, padahal pada 2001 masih 4 juta hektar. Saat ini, karena penyusutan hutan itu, bencana banjir makin sering terjadi. Tahun ini Riau diperkirakan mengalami kerugian Rp 1,12 triliun akibat dampak banjir.5

Menurut Elfian, kerugian Riau akibat banjir pada periode 2003-2004 sebesar Rp 1,12 triliun terdiri dari kerugian langsung Rp 203 miliar dan kerugian tidak langsung Rp 920,4 miliar. Kerugian sebesar itu merupakan 57 persen dari total APBD Provinsi Riau. Akibatnya sebagian besar pembangunan di Riau hancur akibat banjir.

Elfian menunjuk makin menipisnya luas hutan sebagai penyebab makin seringnya datang banjir. Lebih lanjut Direktur Eksekutif GI tersebut menyatakan saat ini terdapat 36 titik alih fungsi hutan, yakni mengubah hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas. Namun setelah menjadi hutan produksi terbatas, alih fungsi juga dilakukan menjadi hutan produksi dan seterusnya menjadi perkebunan.

Dari jumlah tersebut, 50 persen terdapat di hutan lindung. Celakanya tujuh titik alih fungsi terdapat di daerah yang paling parah terkena banjir, sehingga daerah tersebut di masa mendatang akan makin menderita.

Selain banjir, kerugian akibat perusakan hutan juga dirasakan sektor pertanian. Kerusakan hutan menyebabkan satwa-satwa seperti gajah sering mengamuk di areal pertanian dan perkebunan. Pada 2002, GI memperkirakan nilai kerugian Riau akibat amukan gajah terhadap pertanian dan perkebunan mencapai Rp 83 miliar.

Kerugian yang diderita Riau akibat banjir, tutur Elfian, jauh lebih besar dibandingkan pendapatan dari eksploitasi hutan. Dia mencontohkan pada 2003, dana dari sektor kehutanan yang masuk APBD hanya Rp 15,5 miliar. Bisa disimpulkan Riau sebenarnya sangat dirugikan dengan kebijakan melakukan alih fungsi hutan.

Karena itu, melihat begitu merugikannya dampak kerusakan hutan, Elfian menyarankan Pemprov Riau memilih kebijakan melestarikan hutan. GI memperkirakan jika hutan tersisa di Riau tidak diselamatkan, pada 2007 kerugian yang akan diderita Riau membengkak mencapai Rp 2,5 triliun. Untuk melestarikan hutan yang luasnya sudah sangat sedikit, Pemprov harus secepatnya mendeklarasikan gerakan anti praktik kejahatan kehutanan. Deklarasi itu harus melibatkan gubernur dan bupati secara langsung.

Aceh sedang mengalami ancaman! Kira-kira begitualh yang terjadi di Aceh. Bukan lagi serangan besar-besaran GAM atau Operasi Militer. Propinsi itu sejak awal telah ditengarai sebagai salah satu tempat pencurian kayu. Namun, apabila proyek pembangunan jalan tembus Ladia Galaska terealisir sempurna, praktek illegal logging makin mudah saja. Illegal logging bakal menemukan surganya yang baru di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh.

Proyek sepanjang 470 km yang dimulai dari pantai barat Aceh Samudra Hindia ke pantai timurnya di Selat Malaka, dari kota Meulaboh-Takengon-Blangkajeren ke Peureulak. Dari pengamatan landsat telah ditemukan pada tahun 2000, menunjukkan proses perusakan hutan sudah terjadi di kiri kanan jalan.

Nabiel Makarim, Menteri Lingkungan Hidup, menunjukkan citra landsat pada 1973 di sepanjang jalan yang kini dijadikan jalur Ladia Galaska terjadi perambahan hutan di kiri kanan jalan meskipun belum terlalu parah seperti sekarang. Namun 37 tahun kemudian sepanjang jalur itu sudah terjadi penebangan hutan yang sangat luas.
Menurut dia, jika rencana pembangunan Ladia Galaska diteruskan salah satu dari dua hutan yang utuh di Indonesia akan hancur. Saat ini dari dua hutan di Indonesia yang masih terbilang utuh dan rusak parah adalah Leuser di Pulau Sumatera dan hutan Loren di Papua.

Nabiel juga menyebutkan pembangunan jalan yang dimaksudkan untuk membuka isolasi masyarakat Aceh kepada aktivitas ekonomi di Selat Malaka, tidak disertai feasibility study. Tidak mempertimbangkan jumlah rakyat yang bisa memanfatkan jalur itu. Menurutnya, alasan pembangunan jalan untuk membuka isolasi daerah terpencil, mengapa pembangunannya justru di daerah yang jarang penduduknya.

Selain berdampak negatif bagi lingkungan, jelas Nabiel, pembangunan Ladia Galaska juga berpengaruh buruk terhadap ekonomi, sosial dan keamanan di NAD. Pembukaan jalur daerah selatan Aceh ke arah Medan justru membuat daerah utara Aceh terisolir dan akan meningkatkan eksploitasi sumber daya hutan di selatan Aceh.
Author: Kenten Mushroom Farm
•09:24
Menurut data yang dipaparkan Muhamad Dahlan, peneliti Departemen Ekonomi, Soegeng Sarjadi Syndicated, Jakarta, selain kebakaran hutan, sumber kerusakan hutan lainnya adalah illegal logging.

Secara umum, praktek illegal logging adalah segala kegiatan menebang kayu, membeli, atau menjual kayu dengan cara tidak sah. Prakteknya dengan dengan cara menebang di areal yang secara prinsip dilarang tetapi menjadi legal dengan surat yang dikeluarkan oleh pejabat setempat sebagai hasil kolusi. Status ilegal bisa terjadi selama pengangkutan, termasuk proses ekpor dengan memberikan informasi salah ke bea cukai, sampai sebelum kayu dijual di pasar legal.

Akibat illegal logging, hutan-hutan di Indonesia memasuki fase rawan, kerusakannya sudah pada titik kritis. Seluruh jenis hutan di Indonesia mengalami pembalakan liar sekitar 7,2 hektar hutan per menitnya, atau 3,8 juta hektar per tahun. Ini tidak saja mengancam keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya namun juga akan menimbulkan efek berantai negatif pada keseimbangan alam itu sendiri.

Menurut Dahlan, total kerugian dari illegal logging per tahunnya mencapai Rp 30 triliun atau Rp 2,5 triliun per bulannya. Kerugian ini adalah empat kali lipat dari APBN untuk sektor kehutanan. Dengan menyelamatkan 10 persen atau Rp 3 triliun dari total kerugian illegal logging per tahunnya, misalnya, capres dan cawapres dapat berjanji pada rakyat bahwa biaya pendidikan SD dan SLTP gratis. Tidak hanya itu, secara spekulatif juga dapat membuka lapangan kerja untuk 220 ribu buruh lebih.

Jika dapat menyelamatkan 50 persen atau Rp 15 triliun dari total kerugian per tahunnya, bukan hanya beban biaya pendidikan yang gratis, tetapi juga biaya kesehatan Puskesmas di tiap-tiap kecamatan dapat ditanggung pemerintah sepenuhnya. Penyelamatan itu juga akan menciptakan struktur usaha berbasis hutan yang dapat menyerap tenaga kerja lebih dari 500 ribu jiwa.

Dengan semakin berkurangnya tutupan hutan Indonesia, maka sebagian besar kawasan Indonesia telah menjadi kawasan yang rentan terhadap bencana, baik bencana kekeringan, banjir maupun tanah longsor. Menurut data Bakornas Penanggulangan Bencana, 2003, sejak 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah, di mana 85 persen dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.
Author: Kenten Mushroom Farm
•08:53
Terdapat keyakinan, dahulu nyaris seluruh daratan Indonesia ditumbuhi hutan. Pada 2003, luas hutan di seluruh Indonesia menyusut sampai 101,73 juta hektar.

Hutan-hutan Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya 1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11 persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat 10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen spesies burung di dunia.1

Sejatinya, seberapa luas hutan di Indonesia? Dinas Kehutanan Indonesia pada 1950 pernah merilis peta vegetasi. Peta yang memberikan informasi lugas, bahwa, dulunya sekitar 84 persen luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan.

Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas 51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur seluas 3.400.000 hektar.

Menurut catatan pada masa pendudukan Belanda, pada 1939 perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Sektor ini mengalami stagnasi sepanjang tahun 1940-an hingga 1950-an. Tahun 1969, luas perkebunan skala kecil hanya mencapai 4,6 juta hektar. Sebagaian besar lahan hutan itu berubah menjadi perkebunan atau persawahan sekitar 1950-an dan 1960-an. Alasan utama pembukaan hutan yang terjadi adalah untuk kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi.

Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia menginjak babak baru. Di masa era ini, deforestrasi (menghilangnya lahan hutan) mulai menjadi masalah serius. Industri perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon bagaikan emas coklat yang menggiurkan keuntungannya. Lalu penebangan hutan secara komersial mulai dibuka besar-besaran. Saat itu terdapat konsesi pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan untuk mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan. Pada akhirnya langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi ini juga diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian lahan lainnya.

Hasil survei yang dilakukan pemerintah menyebutkan bahwa tutupan hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. bila dibandingkan dengan luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27 persen. Antara 1970-an dan 1990-an, laju deforestrasi diperkirakan antara 0,6 dan 1,2 juta hektar.

Namun angka-angka itu segera diralat, ketika pemerintah dan Bank Dunia pada 1999, bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada areal tutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus, hutan dataran rendah non rawa akan lenyap dari Sumatera pada 2005 dan di Kalimantan setelah 2010.

Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen (Sumber: World Resource Institute, 1997).

Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat ketimbang tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).3 Dan menciptakan potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi, dan sosial ternyata semakin buram.

Forest Watch Indonesia bersama Global Forest Watch menyajikan laporan penilaian komprehensif yang pertama mengenai keadaan hutan Indonesia. Laporan ini menyimpulkan bahwa laju deforestasi yang meningkat dua kali lipat utamanya disebabkan suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Ketidakstabilan politik yang mengikuti krisis ekonomi pada 1997 dan yang akhirnya me-lengser-kan Presiden Soeharto pada 1998, menyebabkan deforestasi semakin bertambah sampai tingkatan yang terjadi pada saat ini.

Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu curian, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000.

Korupsi dan anarki atau ketiadaan hukum semakin berkembang menjadi faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal dan penggundulan hutan. Pencurian kayu bahkan marak terjadi di kawasan konservasi, misalnya di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh.

Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (kayu IPK) pada areal hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar.