Author: Kenten Mushroom Farm
•20:01
Seusai beribadah haji, Ibrahim bin Adham membeli satu kilogram kurma dari pedagang tua di dekat Masjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, ia melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Ia menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli. Ibrahim pun memungut kurma itu dan memakannya.

Empat bulan kemudian, ibrahim tiba di Al Aqsa. Seperti biasa, ia kemudian shalat dan berdoa khusuk sekali di bawah kubah Sakhra. Namun, betapa terkejutnya, tatkala tiba tiba ia mendengar percakapan dua malaikat tentang dirinya. Salah satu dari malaikat berkata "Doa Ibrahim bin Adham ditolak karena, empat bulan lalu, ia memakan sebutir kurma yang bukan haknya.

Karena resah, tanpa pikir panjang Ibrahim berangkat lagi ke mekah untuk menemui pedagang tua itu untuk memintanya mengikhlaskan sebuah kurma yang telah dimakannya. Namun sayang, pedagang tua itu ternyata telah meninggal. Dia hanya menemukan seorang anak muda yang tidak lain adalah anak kandung pedagang itu. Ibrahim pun menyampaikan maksudnya - pada ahli waris pedagang tua tersebut. Sang pemuda sepakat menghalalkannya. Betapa bahagia hati Ibrahim, namun kebahagiaannya ternyata belum selesai. Masih ada 11 orang lagi anak pedagang tua itu - sebagai ahli waris - yang harus juga dimintakan ke ikhlasannya. Meski jauh dan memerlukan perjuangan keras untuk menemui ke 11 anak itu, akhirnya Ibrahim bisa bernafas lega karena semua telah sepakat untuk mengikhlaskannya.

Empat bulan kemudia, Ibrahim kembali ke Al aqsa untuk shalat dan berdoa di sana. Tiba tiba dia mendengar percakapan malaikat yang sama.
"Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara gara makan sebutir kurma milik orang lain."
"O . . . tidak, sekarang doanya sudah makbul lagi, apa yang dia makan telah dihalalkan oleh ahli waris pemilik kurma"

Kisah ini adalah peringatan buat kita semua, terutama bagi mereka yang merampas puluhan milyard, bahkan triliunan rupiah yang bukan menjadi haknya. Mereka menilap uang rakyat lewat berbagai megaproyek, tetapi masih bisa tidur nyenyak.

Author: Kenten Mushroom Farm
•18:38
Pada masa kekhalifahannya di kufah, Imam Ali k.w kehilangan baju besinya yang kemudian didapatinya dipegang oleh seorang yahudi.

Namun, si yahudi mengaku bahwa baju besi ditangannya itu miliknya. Imam Ali mengajak Yahudi itu menghadap Qadhi Syuraih sambil berkata, "Baju besi di tangan orang yahudi itu milikku. Aku belum pernah menjual dan memberikannya kepada siapapun.

"Apa pendapat Anda, wahai Yahudi ?" kata Qadhi Syuraih
"Baju besi di tanganku ini milikku"
"Anda punya bukti wahai Amirul mukminin?" tanya Qadhi pada Ali
"Ya, Qanbar (pembantu Ali) dan Al Hasan putraku menjadi saksi bahwa baju besi itu milikku."
"Kesaksian seorang anak tidak berlaku bagi bapaknya"
Imam Ali menukas, "Seorang lelaki dari ahli syurga tidak berlaku kesaksiannya ? Aku mendengar Nabi SAW bersabda, Al Hasan dan Al Husain adalah dua orang pemimpin para pemuda penghuni syurga."

Karena imam Ali tidak dapat
mengajukan saksi yang dapat diterima oleh mahkamah, maka diputuskan oleh Qadhi bahwa baju besi itu milik orang Yahudi. Keputusan ini mengejutkan orang yahudi itu, dan sekaligus memberikan kesan yang amat mendalam. Semula ia mengira bahwa qadhi itu pasti akan berpihak kepada imam Ali. Sementara imam Ali - demi memenangkan perkara itu pasti juga akan memaksa qadhi berpihak kepadanya. Ternyata semua itu tidak terjadi. Yang dilihatnya adalah sebuah mahkamah yang adil. Qadhi tidak berpihak kepada siapapun, dan Imam Ali juga tidak memaksakan kehendaknya, walaupun dengan kekuasaan yang dimilikinya bisa saja hal itu ia lakukan.

Orang Yahudi itu memenangkan perkara melawan Imam Ali - sebagai kepala negara - dalam mahkamah Islam hanya karena Ali tidak dapat mengajukan saksi yang dapat diterima pengadilan. Orang Yahudi itu terheran heran. Dengan penuh simpati akhirnya dia masuk Islam. Kemudian ia menyampaikan pengakuannya yang jujur, "Benar sesungguhnya baju besi ini adalah milik Amirul mukminin"

Kini masihkah kita temui penegakan keadilan semacam ini ?
Barangkali hal yang banyak terlihat saat ini adalah, keadilan menjadi barang yang sangat langka. Saat ini keadilan seperti barang dagangan yang dengan mudahnya dapat dipesan dan diperjual belikan, apalagi jika yang memesan atau yang membeli itu orang yang punya kekuasaan.