Author: Kenten Mushroom Farm
•10:57
World Growth Chairman, Alan Oxley, said today unless climate change negotiators meeting this week in Bonn concentrated on finding cheaper ways to reduce emissions, the negotiations would fail.

“With unemployment rising in the industrialized world and trade and growth collapsing in the developing world, proposals to cut emissions at the cost of reduced jobs and slower growth will be politically unacceptable,” said Mr. Oxley.

He said climate change negotiators had to recognize governments now had a political imperative to promote growth.

“Expansion of sustainable forestry world wide has been recognized by the IPCC, the UN’s climate change research body, as the cheapest and most effective way to reduce emissions,” said Mr. Oxley.

A recent report published by World Growth – Winners All: How Forestry Can Reduce Both Climate Change Emissions and Poverty – A Pro-Development Program highlighted the importance of this.

It showed expansion of sustainable forestry in developing countries like Indonesia, the Congo and Brazil would increase the size forest carbon sinks, said Mr. Oxley

The bigger sinks would absorb more emissions and reduce pressure to cut them, and thereby the cost of doing so, explained Mr. Oxley.

He said research recently released by Greenpeace showed the same thing, but Greenpeace skirted over that to contend no carbon credits should be allowed for forestry in developing countries.

Greenpeace argued there would be so many it would reduce the price of carbon credits in a global trading scheme.

Mr. Oxley said the price of credits was less important than reducing emissions.

“Expansion of sustainable forestry would also support economic growth in poor countries,” said Mr. Oxley. “Unfortunately, that is not a Greenpeace objective.”

“Greenpeace’s approach is shaped by its opposition to forestry and its desire to raise costs for carbon-based energy industries rather than find cheaper ways to reduce global emissions.” said Mr. Oxley.

If climate negotiators follow Greenpeace’s lead, they will alienate developing countries and there will no new agreement to reduce emissions, said Mr. Oxley.

He pointed out China plans to increase it forests to 20 percent of total land area by 2010, abating 50 Mt of carbon dioxide, but Greenpeace’s approach would not allow China to count that or earn credits for it.

To speak with World Growth Chairman Alan Oxley, please contact media@worldgrowth. org.
Author: Kenten Mushroom Farm
•06:01
Jakarta, CyberNews. Sekitar 15.000 hektar hutan tempat bertumpunya hidup 2.500 jiwa penduduk di Desa Tura, Tumbang Tanjung dan Tumbang Lahang di sepanjang aliran Sungai Katingan, Kalimantan Tengah saat ini terancam musnah demi perluasan perkebunan kelapa sawit.

Kekhawatiran masyarakat ini dituangkan dalam film yang berjudul "Petak Danum Itah" atau "Tanah Air Kami". Film yang dibuat sendiri oleh masyarakat Desa Tura, dengan dukungan Centre for Orangutan Protection ini secara perdana diputar Selasa (16/12) di Jakarta.

"Saya bisa membayangkan bagaimana sengsaranya kami kalau hutan tempat kami mengumpulkan rotan dan berladang dibabat habis untuk perkebunan kelapa sawit. Apa lagi yang akan kami wariskan kepada anak cucu kami nanti. Presiden Indonesia harus tahu bahwa sumber penghidupan kami direbut oleh perusahaan kelapa sawit," kata Daryatmo, kepala Desa Tumbang Tura, salah satu desa di Kecamatan Pulau Malan.

"Kami sudah mendengar keluhan kawan-kawan kami dari desa dekat sini yang telah menyerahkan hutan adat mereka kepada perusahaan kelapa sawit. Mereka sebagian besar tidak dapat lagi mengumpulkan rotan dan menyadap karet yang pendapatannya lumayan mencukupi dan sebagian besar pekerja perusahaan diambil dari luar daerah sehingga penduduk tidak lagi dapat penghasilan yang memadai. Ikan juga tidak ada lagi karena air sungai tercemar," kata Daryatmo dalam keterangan pers tertulis kepada Suara Merdeka CyberNews.

Setidaknya ada 15 perusahaan yang telah mendapatkan konsesi untuk membabat hutan dan menanam kelapa sawit di kawasan itu. Berdasarkan survey Yayasan BOS dan Departemen Kehutanan pada Desember 2006, setidaknya terdapat 1.500 orangutan di 3 areal konsesi PT. Makin Group yang berada di sepanjang aliran Sungai Katingan.

Jika dilakukan survey menyeluruh di kawasan tersebut, bisa jadi kawasan itu merupakan spot keragaman hayati Indonesia yang luar biasa. "COP memutuskan untuk bekerja di desa Tura. Targetnya jelas: selamatkan hutan. Ini tidak saja akan menyelamatkan 1500 orangutan tetapi juga penghidupan masyarakat," katanya.
Author: Kenten Mushroom Farm
•14:34
YOGYAKARTA--MI: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta mengembangkan teknik silvikultur untuk memulihkan hutan sekunder dengan produktifitas rendah yang terus mengalami kerusakan.

Teknik silvikultur mampu mengubah lahan yang kurang potensial unsur haranya (dianggap lahan kritis), menjadi lahan yang bagus. Teknik tersebut sangat spesifik untuk lahan sekunder.

Dekan Fakultas Kehutanan UGM Moh Naiem di Yogyakarta, Senin (24/11), mengatakan, pengembangannya sudah diterapkan di lahan basah, Kalimantan. Bahkan sudah dikembangkan menjadi lebih dari enam model dan diadopsi oleh Departemen Kuhutanan RI.

Menurutnya, lima tahun terakhir ini pihaknya terus mengembangkan teknik silvikultur. Teknik tersebut, ujar Naiem, sebenarnya sudah diperkenalkan pada 1996. Namun, teknik tersebut baru popular sekitar lima tahun terakhir.

"Dengan metode silvikultur sangat memungkinkan mengentaskan kondisi hutan Indonesia dari keterpurukan," katanya.

Ia juga mengatakan, metode silvikultur juga tengah gencar dilakukan di daerah pesisir Kebumen, Jawa Tengah, dengan luas lahan garapan sekitar 350 hektare dari daerah Petanahan hingga Ambal. Di daerah tersebut tengah dikembangkan metode silvikultur dengan penanaman pohon cemara udang.

Cemara udang diyakini mampu mengantisipasi terjadinya banjir akibat tsunami serta melindungi ekosistem tanaman petani dan lahan perikanan yang terletak di kawasan pantai.

"Kita mencoba kembangkan metode silvikultur dengan varietas pohon cemara udang yang sebenarnya juga prospektif, karena bisa dijadikan bonsai yang memiliki daya jual tinggi," ungkapnya.

Pakar Perlindungan Hutan UGM Sumardi menambahkan, teknik silvikultur hampir mirip dengan cocok tanam pertanian, namun di bidang kehutanan sistem cocok tanam yang dimaksud difokuskan pada hutan yang mengalami degradasi.

Teknik tersebut diyakininya mampu memperbaiki ekosistem dan struktur ekologi. "Teknik ini mampu meningkatkan manfaat ekologi, lingkungan dan genetik hutan," jelasnya.

(Sumber Media Indonesia, Senin, 24 2008, Penulis : Sulistiono)