Author: Kenten Mushroom Farm
•09:48
Inilah pemandangan saban hari di perbatasan Kalimantan.6 Iring-iringan truk berukuran raksasa, sekitar pukul 07.00 sudah mulai bergerak meninggalkan Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menuju Tebedu, Malaysia.

Truk tronton berpelat nomor Malaysia, itu seperti punggung Mamut, gajah purba yang mengangkuti kayu. Bentuknya hampir seragam, hanya saja berwarna putih dan panjangnya sekitar delapan meter. Adapun truk berpelat nomor polisi Kalimantan Barat (Kalbar), bentuk, ukuran, dan warnanya sangat beragam. Namun, terdapat kesamaan. Bagian baknya hampir sama, ditutupi terpal plastik berwarna biru atau oranye.

Jika diamati secara cermat, barulah kita tahu bahwa truk-truk berpelat nomor Malaysia maupun Kalbar itu bermuatan kayu gergajian. Saking panjangnya kayu yang dibawa itu, enam sampai delapan meter, ujung kayu tetap saja terlihat menyembul keluar badan truk meskipun sudah ditutupi terpal plastik.

Terpal plastik itu pun tidak digunakan terlalu lama. Hanya digunakan di wilayah Indonesia, agar saat melewati Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalbar, tidak terlalu mencolok.

Petugas pun seolah maklum dengan muatan truk tersebut sehingga tidak rewel melakukan pemeriksaan saat melintasi PPLB Entikong. Pengemudi atau kernet truk hanya menyerahkan beberapa lembar uang puluhan ribu rupiah dan truk bermuatan kayu itu pun lolos keluar dari wilayah Indonesia.

Begitu masuk pintu perbatasan, di Pos Pemeriksaan Tebedu, Malaysia, truk bermuatan kayu harus melintasi pemeriksaan barang. Atap terpal harus dibuka seluruhnya. Namun, pemeriksaan ini pun sekadar formalitas karena meski sudah tahu truk itu bermuatan kayu dan tidak dilengkapi dokumen yang sah, tetap saja lolos masuk wilayah Malaysia. Bahkan, saat sudah berada di dalam wilayah hukum Malaysia, terpal plastik dibuka dan truk itu dengan leluasa melaju di jalan yang beraspal mulus.

Bukan cuma di Entiong, Kabupaten Sanggau, penyelundupan kayu ini berlangsung secara terang-terangan. Di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar, yang mengklaim sebagai “Kabupaten Konservasi”, penyelundupan kayu ke Malaysia sangat mencolok mata.

Jalur penyelundupan kayu yang paling ramai antara lain melalui Kecamatan Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, menuju Lubok Antu, Sarawak, Malaysia. Sekitar 200 truk bermuatan kayu setiap pagi hingga sore melintasi jalur itu, di depan mata petugas, tanpa tindakan apa pun dari aparat.

Hampir sama dengan di Kabupaten Sanggau, kayu-kayu tersebut dikumpulkan dari masyarakat dan dibeli cukong kayu yang beberapa di antaranya warga negara Malaysia. Cukong memberi modal kepada penebang kayu, mulai dari kebutuhan untuk membeli mesin pemotong kayu hingga biaya hidup selama di hutan.

Uniknya, di Kabupaten Kapuas Hulu cara mengangkut kayu dari hutan ke jalan menggunakan sepeda yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga bisa melaju di atas rel terbuat dari kayu. Sepeda yang dimuati kayu di kiri-kanannya hingga 10 balok, kemudian didorong melintasi rel kayu hingga ke jalan raya. Hanya orang-orang tertentu dari Kabupaten Sambas yang mempunyai keterampilan membawa kayu menggunakan sepeda sehingga dikenal dengan nama sepeda sambas.

Kayu hasil tebangan itu kemudian digeletakkan begitu saja di pinggir jalan antara Sintang (Kabupaten Sintang) hingga Putussibau (Kabupaten Kapuas Hulu) yang jaraknya sekitar 165 kilometer. Karena itu, tidak mengherankan jika di sepanjang jalan negara tersebut ditemukan banyak tumpukan kayu hasil tebangan, pondok para penebang, bangunan tempat penggergajian kayu, hingga gudang penumpukan kayu.

Kayu yang sudah ditumpuk kemudian dikirim ke Malaysia menggunakan truk. Namun, biaya untuk pengiriman itu tidak murah, dari Rp 700.000 hingga Rp 1,5 juta per truk bermuatan lima hingga enam meter kubik kayu gergajian. Hampir setiap belokan jalan pasti ada pungutan, mulai yang dilakukan masyarakat, pungutan liar oleh aparat keamanan, hingga aparat pemerintah daerah.

Berdasarkan pemantauan Kompas, antara Sintang dan Putussibau sepanjang 165 kilometer terdapat tidak kurang dari 30 pos pungutan tidak resmi yang dilakukan oleh warga, aparat keamanan, hingga aparat Pemda Kabupaten Kapuas Hulu. Besarnya pungutan berkisar dari Rp 40.000 hingga Rp 50.000 setiap truk. Dalih pungutan bermacam-macam, mulai dari pemeliharaan dan perawatan jalan, hingga menjaga keamanan.

Abang Tambul, Bupati Kapuas Hulu, memperkirakan, setiap hari sedikitnya 40 truk mengangkut kayu dari Badau menuju Lubok Antu, Malaysia. Sebagian truk itu berpelat nomor Malaysia, namun banyak pula yang berpelat nomor Kalbar.

Konsorsium Anti-Illegal logging Kalimantan Barat (KAIL) memperkirakan, sedikitnya 200 truk setiap hari yang melintasi perbatasan kedua negara itu dengan muatan dari enam hingga delapan meter kubik kayu setiap truk.

Jika setiap truk mengangkut enam meter kubik kayu, maka setiap hari setidaknya ada 1.200 meter kubik kayu yang diselundupkan ke Malaysia hanya dari Badau saja, atau 36.000 meter kubik kayu setiap bulan. Jika harga kayu sekitar Rp 600.000 setiap meter kubik, bisa dihitung sendiri berapa kerugian negara akibat penebangan ilegal tersebut.

Bukan cuma kerugian dalam bentuk kehilangan kayu dan pendapatan negara, kerugian paling besar justru berupa kerusakan lingkungan. Dampak ini dirasakan langsung oleh masyarakat dalam bentuk bencana banjir dan semakin luasnya lahan kritis.

Kepala Dinas Kehutanan Kalbar Tri Budirto mengatakan, saat ini luas lahan kritis di daerah itu sekitar 5,1 juta hektar dan mengalami peningkatan yang cukup pesat setiap tahun. Sebagai gambaran, pada 2002 luas lahan kritis di Kalbar baru 4,95 juta hektar yang terdiri atas 2,13 juta hektar berada di kawasan hutan dan 2,72 juta hektar di luar kawasan hutan. Namun, akhir 2003 luas lahan kritis meningkat menjadi 5,1 juta hektar, terdiri atas 2,16 juta hektar berada di dalam kawasan hutan, serta 2,97 juta hektar berada di luar kawasan hutan.

Berarti, hanya dalam waktu setahun luas lahan kritis sudah bertambah sekitar 182.700 hektar. Parahnya lagi, lahan kritis itu sebagian besar berada di sekitar daerah aliran sungai (DAS) besar di Kalbar, yakni DAS Sambas seluas 399.000 hektar, DAS Kapuas 3,35 juta hektar, dan DAS Pawan 1,38 juta hektar.

Tidak heran, karena lahan kritis berada di sekitar DAS, Kalbar kini menjadi daerah langganan banjir di saat musim hujan. Sebaliknya pada musim kemarau, sebagian wilayah Kalbar mengalami kekeringan yang sangat parah. Air sungai menyusut drastis sehingga sungai tak bisa lagi digunakan untuk transportasi tradisional.

Karena sungai tak bisa digunakan, jalan darat pun menjadi pilihan. Bukan cuma oleh penduduk lokal, tetapi juga untuk angkutan kayu ilegal. Tak heran jika sejumlah ruas jalan utama yang menghubungkan sejumlah kabupaten di Kalbar rusak parah.

Ternyata, penebangan hutan yang dilakukan secara besar-besaran sama sekali tidak memberi manfaat bagi masyarakat banyak, namun hanya dinikmati segelintir orang. Sebagian besar masyarakat justru menuai bencana seperti banjir, kerusakan jalan, dan kekeringan akibat semakin luasnya lahan kritis.

Herujono Hadisaputro, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak mengatakan, dibandingkan dengan propinsi lainnya, Propinsi Kalbar memiliki lahan kritis paling luas. Namun ironisnya, upaya rehabilitasi lahan kritis justru sangat minim, bahkan tidak sebanding dengan luas hutan yang dibabat. Jika hal ini dibiarkan, bukan mustahil lahan kritis di Kalbar kelak akan menjadi gurun pasir.

LH Kadir, Wakil Gubernur, Kalbar, mengatakan, dari 15.000 hektar lahan kritis di Kalbar yang diajukan untuk direhabilitasi, hanya 9.000 hektar yang disetujui pemerintah pusat dan kemudian diberikan anggaran. Sisa lahan kritis lainnya akan dicoba dimanfaatkan untuk tanaman rambutan, durian, sawo, dan tanaman produktif lainnya dengan melibatkan masyarakat.

Di Kota Bontang, Kalimantan Timur, aparat pemerintah juga kesulitan menentukan lahan yang harus direhabilitasi karena tidak sebandingnya anggaran yang tersedia dengan luas lahan kritis yang harus direhabilitasi, termasuk rehabilitasi Taman Nasional Kutai (TNK). Selain anggaran terbatas, tanaman untuk rehabilitasi juga bukan tanaman lokal, melainkan tanaman produktif sehingga bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 8205 Tahun 2002 tentang Pedoman Rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional.

Di Kabupaten Berau, Kaltim, lahan rehabilitasi malah dimanfaatkan menanam kopi. Sebenarnya, rehabilitasi itu tidak salah asalkan melibatkan masyarakat dan dilakukan secara transparan. Sayangnya, harga pembelian bibit kopi itu tidak transparan sehingga merugikan masyarakat.

Tidak heran jika kemudian Suwarna AF, Gubernur Kaltim mengatakan, dana rehabilitasi dan dana reboisasi untuk Kaltim yang jumlahnya lebih dari Rp 200 miliar, sekitar 60 persen tidak tepat sasaran dan mengalami penyimpangan. Tidak cuma jenis tanaman dan lokasi penanaman, tetapi juga penggunaan dananya yang masing-masing kabupaten menerima sekitar Rp 20 miliar, banyak mengalami penyimpangan.

Jadi, kerusakan hutan di Kalimantan memang bertubi-tubi. Di satu sisi hutan dibabat secara tidak terkendali, sedangkan upaya rehabilitasi lahan kritis nyaris tidak dilakukan. Jika demikian, bisa jadi benar pendapat sejumlah kalangan yang menyatakan, Kalimantan sekarang sedang menunggu menjadi gurun pasir.
This entry was posted on 09:48 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 comments: